Sabtu, 24 Februari 2018

Gunung TIlu: Gunung Tilu

Gunung TIlu: Gunung Tilu: Gunung Tilu adalah gunung yang terletak dekat perbatasan Kabupaten Kuningan , Jawa Barat dan Kabupaten...

Gunung Tilu adalah gunung yang terletak dekat perbatasan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat dan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Secara administratif pemerintahan, Gunung Tilu termasuk ke dalam wilayah Desa Jabranti Kecamatan Karangkancana Kabupaten Kuningan.

Gunung Tilu merupakan kelompok pegunungan yang setidaknya mempunyai tiga puncak tertinggi yaitu puncak Sukmana (1.154 m dpl), puncak Gunung Tilu (1.076 m dpl), dan puncak lainnya yang tidak diketahui namanya (1.112 m dpl). Masyarakat cukup beralasan menyebut kawasan gunung tersebut dengan Gunung Tilu, yang berarti tiga, karena dari setiap sudut, kawasan tersebut selalu memperlihatkan tiga gundukan gunung. Kawasan ini juga menjadi hulu bagi banyak sungai kecil yang membentuk dua sungai besar di Desa Jabranti dan Desa Cimara, yaitu sungai Citaal dan Cijangkelok.

Hutan-hutan di wilayah ini, meski bukan lagi hutan yang belum terjamah, kebanyakan masih berupa hutan alam yang berstatus hutan lindung. Keanekaragaman hayati yang dikandungnya adalah luar biasa, mengingat bahwa lingkungan di sekitarnya merupakan wilayah pemukiman yang relatif padat. Sebagian areal merupakan kawasan hutan produksi yang ditanami jati dan pinus, bersisian dengan bagian-bagian hutan yang telah dibuka untuk dijadikan kebun atau persawahan. Pengelola kawasan hutan ini adalah Perum Perhutani KPH Kuningan.

Potensi hutan kawasan Gunung Tilu sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. Kawasan ini merupakan lokasi hulu tiga sungai besar di wilayah Kuningan timur yakni sungai-sungai Cltaal, Cijangkelok dan Cikaro. Hutan-hutan di wilayah ini, meski bukan lagi hutan yang belum terjamah, kebanyakan masih berupa hutan alam yang berstatus hutan lindung. Keanekaragaman hayati yang dikandungnya adalah luar biasa, mengingat bahwa lingkungan di sekitarnya merupakan wilayah pemukiman yang relatif padat.

Sebagian areal merupakan kawasan hutan produksi yang ditanami jati dan pinus, bersisian dengan bagian-bagian hutan yang telah dibuka untuk dijadikan kebun atau persawahan. Pengelola kawasan hutan ini adalah Perum Perhutani KPH Kuningan.

Namun sampai dengan saat ini belum ada kajian yang mendalam berkaitan dengan potensi hutan kawasan Gunung Tilu, baik mengenai kekayaan ragam hayatinya maupun kapasitas sumber-sumber air di wilayah ini. Sementara di sisi lain, aktivitas masyarakat sekitar telah menjadi persoalan serius karena sedikit banyak telah mengancam kelestarian kawasan.

Gunung Tilu merupakan kelompok pegunungan yang setidaknya mempunyai tiga puncak tertinggi yaitu puncak Sukmana (1154 m dpl), puncak Gunung Tilu (1076 m dpl), dan puncak lainnya yang tidak diketahui namanya (1112 m dpl). Masyarakat cukup beralasan menyebut kawasan gunung tersebut dengan Gunung Tilu, yang berarti tiga, karena dari setiap sudut, kawasan tersebut selalu memperlihatkan tiga gundukan gunung. Kawasan ini juga menjadi hulu bagi banyak sungai kecil yang membentuk dua sungai besar di Desa Jabranti dan Desa Cimara, yaitu sungai Citaal dan Cijangkelok.

Secara administratif pemerintahan, Gunung Tilu termasuk ke dalam wilayah Desa Jabranti, Kecamatan Karang Kancana dan Desa Cimara, Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan. Di bagian timur, kawasan ini lang sung berbatasan dengan Desa Capar Kecamatan Salem Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah. Sepanjang perbatasan, gunung gemunung berdiri seperti dinding yang memisahkan kedua propinsi. Segi topografi dinding di sebelah barat (wilayah Jawa Barat) memperlihatkan kelerengan yang curam, sedangkan di bagian timur (wilayah Jawa Tengah) memperlihatkan kelerengan yang relatif landai


Gunung Tilu terlihat dari areal pesawahan bengkok Desa Karangkancana
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Tilu
http://www.kuningankab.go.id/konservasi-dan-keanekaragaman-hayati/kawasan-gunung-tilu


Sejarah Desa Karangkancana
A.  Asal mula sebutan Gunungjawa

Pada zaman dulu di Gunung Sukmana konon ada seorang Pendita yang bernama Anjar Padang. Ia memiliki putri cantik yang bernama Nyi Endang Geulis, karena kecantikannya, membuat seorang raja Mataram merasa penasaran akan kabar kecantikan sang putri, lalu ia pun mengutus patih yang bernama Niti Baga untuk menjemput sang putri untuk dijadikan permaesuri. Maka Patih pun pergi ke Gunung Sukmana untuk menjalankan titah sang raja.

Setibanya di tempat yang dituju, patih Niti Baga menyampaikan maksud dan tujuannya kepada Pendita Anjar Padang, tanpa kesulitan patih berhasil mendapatkan ijin dari sang Pendita, dan dapat memboyong putri ke Mataram. Kepergian sang putri ternyata tidak dilepas begitu saja oleh sang Pendita, ia pun ikut menggendongnya dengan sebuah kain (gembolan) sampai kesuatu tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal Pendita.  Tiba ditempat tersebut, Pendita menurunkan putrinya dan membuka kain (gembolan) pelindungnya. Tempat membuka kain (gembolan) kini dikenal dengan sebutan Jatigembol tepatnya di wilayah Kecamatan Cibingbin.  Dari tempat itulah sang Pendita melepas kepergian putrinya.

Dalam perjalanan menuju Mataram rombongan sang putri istirahat sebentar, tempat tersebut kini dikenal dengan sebutan Sindangjawa (Tempat mampirnya orang Jawa), saat istirahat Nyi Endang Geulis menyempatkan diri untuk mandi di sana. Pada saat mandi secara tidak sengaja melihat sang putri yang sedang mandi, karena tertarik dengan kecantikannya, patihpun akhirnya berniat ingin mempersunting Nyi Endang Geulis. Tempat dimana hati patih jatuh hati kepada putri sekarang dikenal dengan nama Cijangkelok (yang artinya Sungai tempat jatuhnya hati).

Untuk memenuhi keinginannya, patih tidak melanjutkan perjalanan ke Mataram tapi mengalihkan perjalanan menuju ke Banyumas bersama rombongan, tanpa perasaan takut. Kepergian Patih Niti Baga dari Mataram sudah terbilang lama hingga beberapa bulan, belum juga kembali, hal ini membuat raja merasa gelisah, dalam hatinya penuh dengan banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Akhirnya dengan beberapa pertimbangan ia bermaksud akan mengutus pasukan untuk menyusul Patih ke gunung Sukmana. Tapi belum juga pasukan yang ditugaskan berangkat, Pendita Anjar Padang datang berkunjung ke istana untuk bertemu dengan putrinya.

Kejadian ini membuat raja  murka terhadap Patih, maka pasukan yang sudah disiapkan untuk menyusul Patih, kini benar-benar diperintahkan untuk mencari dan membawa patih Niti Baga beserta Nyi Endang Geulis dan menerima hukuman mati dari kerajaan. Mendengar pembicaraan raja, Pendita langsung pergi mencari putrinya, karena khawatir akan ancaman raja.Karena kesaktiannya, Pendita itu lebih dulu menemukan Patih Niti Baga beserta putrinya Nyi Endang Geulis, demi keselamatan, Pendita pun akhirnya membawa mereka dan beberapa pasukannya menuju Gunung Sukmana.

Setibanya di kaki Gunung Sukmana, tepatnya di Cijurang (kini tempat tersebut dikenal dengan sebutan Lebak Cijurang), Pendita Anjar Padang membuat goresan diatas tanah, dengan tujuan: siapa saja yang berani melewati tanda garis yang digoreskan dengan pedang saktinya dan berniat mencelakakan keluarga Pendita beserta pengikutnya, maka akan binasa sebelum melewati garis tersebut.

Belum juga satu bulan Pendita beserta pengikutnya berada di Gunung Sukmana, pasukan Mataram yang ditugaskan untuk menyusul mereka tiba di sana. Namun perjalanan mereka terhenti di kaki gunung ketika melihat goresan aneh dihadapannya, suatu garis yang jelas mempunyai kekuatan dahsyat sengaja digoreskan oleh seorang yang sakti, terbukti pasukan berkuda pun tak mampu melewatinya. Bahkan, pasukan mereka seperti yang bingung dan kuda-kuda mereka ketakutan, akhirnya pasukan Mataram berhenti beberapa jam disana, setelah beristirahat akhirnya mereka memutuskan akan memaksakan pasukan kudanya melewati garis, ketika mereka melewati garis itu, seluruh pasukan binasa, termasuk kuda yang ditungganginya.

Empat bulan lebih pasukan Mataram yang ditugaskan mencari Patih Niti Baga tak kunjung kembali, maka raja Mataram merasa kesal dan marah, akhirnya raja mengutus seorang pangeran sakti yang bernama Dipati Pasir beserta putranya untuk menyusul pasukan pertama.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, pasukan Pangeran Dipati Pasir dan putranya tiba di kaki Gunung Sukmana, tetapi sebelum mereka sampai ke tempat goresan keris sakti, ternyata Pendita sudah berada di sana, lalu ia memberi perhatian kepada pasukan Pangeran Dipati Pasir, agar tidak melewati garis yang dibuatnya, karena pasukan pertama pun dulu binasa, akibat memaksakan diri melewati goresan tersebut. Mendengar ancaman yang tidak main-main itu pasukan Pangeran Dipati Pasir berhenti dan melanjutkan langkahnya menuju ke tampat lain.

Setelah Pendita pergi, Pangeran Dipati Pasir memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram, karena takut akan ancaman raja, bahwa jika tidak berhasil membawa putri Nyi Endang Geulis beserta Patih Niti Baga maka pasukannya akan mendapatkan hukuman pancung dari kerajaan, begitupun untuk melanjutkan perjalanan tidak mungkin, karena ancaman mati dari Pendita, maka akhirnya mereka berjalan melingkar ke sebelah barat Gunung Sukmana.

Di tempat yang datar, tepatnya sebelah barat Gunung Sukmana, mereka membuat perkampungan kecil dengan membangun beberapa gubug sederhana sebagai tempat tinggal. Mereka memilih tempat itu karena selain nyaman juga dekat dengan sebuah sungai. Keadaan sungai yang kecil tapi airnya mengalir deras dan jernih, dengan dasar tanah porang dan tidak berpasir, sehingga air tidak mudah keruh. Lalu mereka menamakan perkampungan tersebut dengan nama Kampung Ciporang (artinya Kampung Sungai Tanah Porang).

Secara diam-diam Pangeran Dipati Pasir menjemput istri dan anak-anaknya dari Mataram serta beberapa pengikut setianya untuk berkumpul di Ciporang. Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Gunungjawa, yang artinya “orang-orang jawa membuka tempat tinggal di kaki gunung”. Pendita Anjar Padang yang berada di Gunung Sukmana sebenarnya mengetahui keberadaan mereka, tapi karena tidak mengganggu dan mereka memang membelot dari rajanya, maka Pendita tidak merasa keberatan mereka membuka perkampungan di sana. Bahkan Nyi Endang Geulis sering berkunjung ke Ciporang beserta Patih Niti Baga. Kebiasaan Nyi Endang Geulis sepulangnya dari Ciporang atau dari tempat lainnya tidak melewatkan diri untuk mandi di kali yang airnya sejuk dan menyegarkan, tempat mandi tersebut kini dikenal dengan nama Cigunung Geulis (Air Gunung tempat mandinya Endang Geulis).

Menurut salah seorang Tokoh Masyarakat Bapak Suhandi, bahwa Patih Niti Baga meninggal di kampung Ciporang, dan dikebumikan di bukit sebelah barat kampung tepatnya di makam Gunung Purwa (Astana Gunung), makam tersebut kini dikenal dengan sebutan makam Eyang Kapidin (Patih Niti Baga). Sedangkan Nyi Endang Geulis konon dimakamkan di pasir Indang, tepatnya sebelah timur kampung Ciporang, tapi ada pula yang mengatakan ia hijrah ke wilayah Cirebon. Bahkan konon kini masih terdapat peninggalan Pendita Anjar Padang beserta putrinya Nyi Endang Geulis berupa makam dengan ciri terdapat dua buah batu, sebutan Pasir Indang berarti:   pasarean Endang Geulis.


B.  Kampung Gunungjawa

Keturunan Mataram yang membelot dari rajanya, yang dipimpin oleh Pangeran Dipati Pasir, kini sudah membentuk sebuah perkampungan yang sangat subur dengan masyarakatnya yang damai dan sejahtera. Mengetahui keadaan seperti itu, walaupun mereka bertahun-tahun hidup di kampung tersebut, Pendita Anjar Padang tidak pernah mengusik kehidupan mereka, bahkan sesekali putrinya (Nyi Endang Geulis) berkunjung ke kampung meraka.

Pangeran Dipati Pasir adalah seorang pemimpin yang sangat disegani oleh semua orang, ia sangat bijaksana, cerdas dan sangat pandai. Beliau masih menetap di Kampung Ciporang sampai pada akhirnya ia pun meninggal dunia, dan dimakamkan di lokasi pemakaman kampung (Pemakaman Dipati Pasir) wilayah pemakaman umum sebelah barat Pesantren Bani Sanjur Gunungjawa sekarang. Setelah Anjar Padang, Patih Niti Baga (Eyang Kapidin), Nyi Endang Geulis dan Pangeran Dipati Pasir meninggal, maka muncullah dua orang tokoh yang bernama Den Ayu Kaca dan Buyut Ketan. Mereka adalah generasi penerus pemegang tampuk pimpinan dan juga tokoh leluhur Ciporang (Gunungjawa).

Perkampungan tersebut semakin ramai oleh penduduk, dan pada mulanya dipimpin oleh seseorang yang bernama Dalem Kertapala. Disana mereka hidup rukun dan damai, makmur dengan pencaharian pokok bertani dan bercocok tanam. Siklus perekonomian pun berjalan dengan mulus tanpa adanya gangguan, karena memang tempat mereka sangat strategis, perairan sangat cukup mendukung, suasana sejuk dan nyaman serta pemandangan yang indah, disamping itu setiap orang atau rombongan yang akan datang ke wilayah itu dengan mudah terlihat dari perkampungan mereka, karena lokasinya yang tinggi, sehingga setiap gerak-gerik yang kelihatan dan mencurigakan dengan mudah dapat diketahui.

Kehidupan terus berjalan mengiringi roda jaman, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, dan akhirnya perkampungan itu telah menjadi sebuah perkampungan yang ramai dengan segala aktivitas penduduknya. Beberapa pimpinan kampung telah terjadi pergantian secara adat dan turun temurun, tapi setelah keturunan Dalem Kertapala tidak ada yang dapat meneruskan tampuk kepemimpinan leluhurnya, maka pimpinan kampung di pimpin oleh Demang yang bernama Demang Adiwiguna. Saat itulah pertama kali pemimpin dapat dipilih secara demokrasi oleh masyarakat, dan sejak itulah Ciporang mulai dikenal dengan sebutan Dukuh Gunungjawa yang berarti Orang-orang Jawa berkumpul di Kaki Gunung. Kehidupan masyarakat Gunungjawa yang sudah terbiasa hidup damai dan memiliki sifat saling menghormati, maka siapapun pimpinannya tidak membuat mereka berpecah-belah, tetapi justru saling menghormati antara satu dengan yang lainnya.

Kecemasan dan rasa takutpun sedikit demi sedikit berkurang, bahkan akhirnya kehidupan mereka semakin merasa nyaman Pendita Anjar Padang beserta putri dan rombongannya tidak ada lagi, tapi walaupun demikian satu orangpun belum ada yang berani melewati garis yang digoreskan oleh Pendita (Lebak Cijurang), karena mereka masih takut akan ancaman Pendita.


C.  Masa Awal Kampung Gunungjawa

Seiring berjalannya waktu Gunungjawa telah berubah wajah menjadi sebuah desa yang dipimpin oleh seorang Kuwu pertamanya      H. Gontang. Ia seorang yang bijaksana, disegani oleh masyarakatnya, dan iapun sangat menyayangi warganya. Menurut keterangan beberapa tokoh Gunungjawa, bahwa pada sekitar tahun 1910-an sebagai awal dari pembangunan dibidang Pendidikan, khususnya pendidikan Agama, telah di mulai kegiatan pengajaran membaca Al-Qur`an dan kitab-kitab pelajaran tentang syariat Islam secara teratur dan terarah oleh seorang  ulama  yang  bernama Kyai Madrawi. Pada awalanya para pelajar (santri) hanya putra-putri Gunungjawa.

Hasil didikan dan binaan Kyai Madrawi sangat menggembirkan, kehidupan beragama di Gunungjawa bagitu nampak, misalnya saja setiap waktu sholat Masjid yang sangat sederhana selalu dipenuhi oleh warga masyarakat yang melaksanakan sholat berjamaah. Walaupun mata pencaharian mereka mayoritas bercocok tanam, tapi waktu sholat dzuhur mereka pasti pulang untuk melaksanakan sholat berjamaah, setelah melaksanakan sholat diantara mereka ada yang kembali melanjutkan aktivitasnya.

Banyak diantara santri yang telah menimba ilmu dari Kyai Madrawi melanjutkan menuntut ilmu ke daerah lain, misalnya saja seorang putra Gunungjawa yang bernama Hulaemi berhasil menuntut ilmu di Pesantren Jagasara, Cidahu, pimpinan Kyai Abdul Halim. Sekitar tahun 1918 pada saat kyai Madrawi berusia lanjut, maka beliau memerintahkan muridnya yaitu Ajengan Hulaemi untuk melanjutkan misinya menyampaikan risalah dan ajaran Islam di Gunungjawa.

Kegiatan pengajian di Gunungjawa semakin maju dan banyak dikunjungi para santri dari berbagai daerah. Kehidupan islami tampak dari perilaku sehari-hari, masyarakat yang ramah dan saling menghormati, tolong-menolong diantara mereka, hampir tidak pernah terdengar adanya kesenjangan di antara mereka. Berhubung banyaknya santri yang berkunjung ke Gunungjawa mendorong Ajengan Hulaemi mendirikan Pesantren, maka pada bulan April 1920 Beliau mendirikan Pesantren Gunungjawa.
Setelah berdirinya sebuah Pesantren, maka Gunungjawa semakin luas dikenal masyarakat, keberadaan Pesantren akhirnya tersebar ke seluruh daerah, khususnya daerah Kuningan, Cirebon dan Brebes Jawa Tengah.


D.  Masa Proklamasi

Rangkaian kepemimpinan H. Gontang hingga kepemimpinan Argasuwita di Desa Gunungjawa yang nyaman, damai dan sejahtera itu, rupanya harus terhenti oleh gejolak politik internasional, yaitu penjajah dari luar negeri (Belanda) yang tujuan awalnya adalah mencari rempah-rempah ke wilayah Negara Republik Indonesia, tapi pada akhirnya justru melakukan penindasan hal ini jelas berimbas ke pelosok pedesaan.

Disusul datangnya penjajah Jepang yang memiliki tujuan sama yaitu ingin menduduki dan merebut negara Indonesia. Belanda pergi tapi datang penjajah baru yang sama menjajah negeri ini. Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jum`at Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kabar tersebut memang terlambat diterima oleh masyarakat pedesaan, karena larangan penguasa Jepang, untuk menyiarkan peristiwa penting tersebut. Baru pada tanggal 18 Agustus 1945 kabar tentang kemerdekaan Republik Indonesia ramai di dengar masyarakat Gunungjawa.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, disambut dengan suka cita, oleh seluruh pemuda, santri dan warga masyarakat, namun perasaan suka cita itupun tidak bertahan lama, pasalnya terdengar kabar bahwa setelah Jepang pergi, Belanda kembali lagi ke Tanah Air, mendengar berita tersebut maka seluruh pemuda, santri dan masyarakat Gunungjawa bertekad mempertahankan Kemerdekaan hingga tetes darah penghabisan, siap mempertahankan tanah Gunungjawa bersama-sama dengan TNI. Hal itu dibuktikan oleh para pemuda, santri dan warga masyarakat Gunungjawa, mereka selalu berusaha menghalang-halangi setiap gerak-gerik tentara Belanda. Berbagai taktik dan siasat diupayakan untuk menghambat aktivitas tentara Belanda, cara-cara yang digunakan oleh para pemuda dan masyarakat Gunungjawa untuk melawan tentara Belanda adalah:

Upaya menghambat jaringan informasi tentara Belanda dengan cara menggunting dan memutuskan kabel telepon, yang ada di jalur Luragung – Ciwaru.
Setiap jalan yang akan dilalui tentara Belanda dipasang jebakan dan ranjau maupun perangkap lainnya yang dapat menghambat aktivitas tentara Belanda.
Sebagian pemuda ada yang menjadi mata-mata dan pengintai aktivitas tentara Belanda.

Pada masa itu, Pesantren Gunungjawa menjadi tempat persembunyian sekaligus tempat berkumpulnya para tokoh pejuang golongan Islam, dalam menyusun strategi dalam menumpas penjajah Belanda, mereka itu antara lain adalah Kyai Zahid (ayah kyai Izzuddin) pimpinan Pondok Pesantren Buntet Kabupaten Cirebon, Kyai Abdul Halim pimpinan Pondok Pesantren Jagasara Cidahu, dan Kyai Moch. Suntana seorang pimpinan Lasykar Hizbullah Kabupaten Cirebon dan sekaligus beliau adalah Kepala Desa Leuweunggajah Kec. Ciledug Kabupaten Cirebon.

Setelah penjajah Belanda terusir dari Tanah Air, mereka (Kyai Zahid, dan Kyai Abdul Halim) kembali ke tempatnya masing-masing, kecuali salah seorang dari mereka tidak kembali ke tempat asalnya Desa Leuweunggajah, beliau adalah Kyai Moch. Suntana. Beliau menetap di Gunungjawa dan mempersunting putri Gunungjawa Siti Khodijah, putri pasangan suami-istri Mbah Jangkung Kertawijaya dan Hj. Siti Suryami.

Setelah menikah dengan Siti Khodijah beliau menjadi pengajar pendidikan Agama Islam di Pesantren bersama-sama dengan Ajengan Hulaemi, karena memang beliau adalah jebolan Pesantren Jombang, Jawa Timur. Dikemudian hari beliau lebih dikenal dengan nama Kyai Badrun. Desa Gunungjawa dalam perjalanan menuju puncak kejayaan, tentunya harus diimbangi oleh semangat perjuangan membela tanah air dan adat keturunannya, walaupun rintangan terus menghadang, tapi seluruh masyarakat Gunungjawa selalu sigap dan bersatu menghalau segala rintangan. Hal ini dibuktikan oleh warga masyarakat Gunungjawa yang terus menerus membangun desanya secara periodik dipimpin beberapa kuwu, sejak Kuwu H. Gontang hingga kepada kuwu sesudahnya.

Tercatat beberapa nama Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Gunungjawa dari masa penjajahan Belanda sampai masa Bedol Desa, yaitu:
1.   H. Gontang            :   Tahun 1865
2.   Cakradinata           :   1866 - 1898
3.   Argasuwita            :   1898 - 1920
4.   Raksasuwita           :   1920 - 1946
5.   Dahlan                :   1946 (6 bulan)
6.   Baskat                :   1947 (3 bulan)
7.   H. Wirya Atmaja       :   1947 - 1967


E.  Gunungjawa digempur Belanda dan Gerombolan DI/TII

Sebuah desa yang jauh dari kebisingan kota, terletak di kaki Gunung Sukmana, dengan tetumbuhan lebat disekitarnya, pasti lepas dari perhatian kalangan masyarakat khususnya pemuda. Padahal di Desa Gunungjawa puluhan bahkan ratusan rangka pejuang tak dikenal. Mereka gugur karena mempertahankan kemerdekaan.

Pada tahun 1947 yang silam, Belanda melancarkan Agresi I, ketika itu Belanda dengan persenjataan lengkap membombardir Kota Cirebon dan sekitarnya. Serangan mendadak itu mengagetkan penduduk setempat, antara lain penduduk Ibu Kota Kuningan, Luragung, Ciwaru dan Cibingbin. Banyak korban berjatuhan dalam serangan itu, baik dari pihak rakyat maupun tentara, tidak terkecuali di Gunungjawa yang notabene termasuk wilayah Ciwaru, dan berdekatan dengan kota Luragung dan Cibingbin.

Serangan Belanda tersebut bukan tidak beralasan, karena memang daerah-daerah tersebut dinilai sebagai basis pejuang-pejuang Jawa Barat. Selain Bandung apalagi Cirebon pertama kalinya diumumkan Kemerdekaan Indonesia oleh saudara Soedarsono (Ayah Prof. Yuwono Soedarsono), pada tanggal 16 Agustus di Desa waled-Cirebon.

Setelah mendapat serangan gencar terjadi pengungsian besar-besaran dari Cirebon ke Ciwaru dan Gunungjawa, Keputusan itu berdasarkan kesepakatan Dewan Pertahanan Keresidenan Cirebon dan Brigade V, yang sebelumnya merencanakan pengungsian itu ke daerah Bobos Mandirancan. Pasukan yang pertama datang ke Ciwaru dan sekitarnya pada awal Agustus 1947 adalah pasukan kelaskaran yang dikenal dengan nama Pasukan Istimewa (PI) berkekuatan satu bataliyon dipimpin oleh Kapten Safei dan Letnan Said. Selanjutnya ratusan pengungsi secara bergelombang berdatangan ke Ciwaru dan Gunungjawa, baik Pegawai pemerintah, tokoh masyarakat, Kepolisian Karesidenan Cirebon, dan tidak sedikit rakyat biasa turut mengungsi ke wilayah Ciwaru dan Gunungjawa. Selain dari PI pasukan kelaskaran lainnya berdatangan seperti dari Divisi Bambu Runcing (BR) dari Yogyakarta dibawah pimpinan Kolonel Sutan Akbar, yang mendapat surat tugas resmi dari Jenderal Sudirman, pasukan BR ini kebanyakan bermukim di Gunungjawa. Menyusul Pasukan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan kehadiran Bataliyon 400 tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP) pimpinan Salamun AT dan AF Wirasutisna ke wilayah Ciwaru dan sekitarnya serta mendapat sambutan masyarakat Gunungjawa.

Masyarakat Gunungjawa sangat gigih dalam mempertahankan kemerdekaan, jiwa juang dan kepatuhan terhadap Pemerintah Republik Indonesia tak pernah tergoyahkan. Belanda jengkel, Mereka bertindak! Pada suatu hari melayang-layang sebuah kapal terbang tipe capung yang bertugas sebagai pengintai di atas hutan dan perbukitan sekitar wilayah desa Gunungjawa, Cileuya, Pabuaran dan Ciwaru. Tidak lama kemudian menderu-deru tiga buah kapal Bomber. Gubug-gubug persembunyian geriliyawan di hutan-hutan dan perbukitan, juga rumah penduduk Gunungjawa dan sekitarnya yang disinyalir ditempati pasukan Hizbullah pimpinan Une dibombardir disertai peluru mitraliur. Gunungjawa saat itu banjir darah dan jerit tangis penduduk yang kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal mereka luluh hancur dilumat bom dan peluru ganas. Banyak pejuang dan rakyat menjadi korban tindakan diluar perikemanusiaan Militer Belanda. Tapi tindakan kejam itu tidak mematahkan semangat perlawanan warga masyarakat. Justru sebaliknya perlawanan rakyat dan geriliyawan Hisbullah kian merajalela.

Pada bulan Februari 1949 tentara Belanda ditarik dari wilayah Ciwaru, Pabuaran dan Gunungjawa, yang tersisa hanya Markas Perwakilan Belanda yang berkedudukan di Desa Segong. TNI secara bergelombang terus berdatangan dari Yogya. Jalur yang ditempuh TNI melalui jalur Cimara melalui perkampungan Indrakila (sekarang Indrahayu) dan Gunungjawa sebagian dari mereka ada yang melanjutkan perjalanan menuju Sumberjaya, karena di Desa Segong masih ada Markas Belanda, maka jalur yang lewati melalui Desa Kaduagung - Margacina - lalu tembus ke Sumberjaya. Sebenarnya mereka akan melanjutkan perjalanan ke daerah Cijambu Subang. Akhirnya wilayah Gunungjawa, Pabuaran Getasan dan Ciwaru diduduki TNI Kompi Kusuma Negara pimpinan Kapten Mustofa Sudirja.

Hal ini tercium oleh pihak Belanda. Diawali dengan melayang-layangnya sebuah kapal terbang tipe capung, perkampungan Gunungjawa dan sekitarnya termasuk Ciwaru sebagai basis persembunyian para geriliyawan dihujani peluru Kanon yang ditembakan dari Luragung tidak kurang dari 150 butir, tidak puas dengan penyergapan Belanda beralih menghujani wilayah Gunungjawa dari arah Cileuya dengan tembakan kanon yang menghancurkan perkampungan penduduk, dilakukan sekitar pukul 19.30 WIB (setelah sahalat Isya), tembakan kanon menghujani kampung Margacina. Pukul 22.00 WIB Belanda kembali menghujani dengan tembakan kanon dari Cileuya, kini giliran Desa Gunungjawa yang jadi sasaran. Gedung SR (Sekolah Rakyat) hancur lebur jadi sasaran, rumah penduduk banyak yang hancur. Tidak sedikit rakyat dan pejuang luka-luka berat maupun luka ringan, salah seorang warga yang menjadi saksi hidup saat itu terkena tembakan keganasan peluru Belanda yaitu Bapak Sarju (bapak Sahri). Sementara itu Belanda secara rutin mengadakan patroli ke desa-desa dan mengadakan penyergapan secara mendadak ke kampung-kampung yang dicurigai sebagai tempat persembunyian geriliyawan, terutama desa Gunungjawa yang dianggap basis Hisbullah pimpinan Une, penyergapan dilakukan dikala fajar menyingsing. Pada suatu siang hari pesawat terbang tipe capung kembali menghujani peluru dari atas Desa Gunungjawa.

Berikut ini adalah nama-nama korban luka berat dan ringan pada waktu terjadinya penembakan Belanda disiang hari, tepatnya hari selasa, tanggal 22 November 1947, yaitu: Bapak Sajud, Ibu Suryi Istri Kuwu Dahlan, dan Bapak Waspi.

Gunungjawa salah satu desa dari 369 desa di Kabupaten Kuningan bagian Timur, yang memiliki nilai histories tersendiri pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan, penduduk Gunungjawa tidak hanya menghadapi gempuran serdadu Belanda, tetapi justru diserang pula oleh gerombolan DI/TII. Gerombolan DI/TII sering menteror penduduk, bahkan tidak segan-segan mereka membunuh penduduk yang tidak mengikuti keinginannya, tak pelak lagi rumah Kuwu Baskat (Kepala Desa) pun jadi amukan gerombolan DI/TII yang ujung-ujungnya rumah tersebut dibakar habis dan ia meninggal pada tahun 1947. Itulah rumah kedua di Gunungjawa yang dibakar setelah rumah Bapak Eman.

Perjuangan yang tidak pernah berhenti, itulah Gunungjawa, sejak  pergolakan penjajah Belanda, desa kecil ini terus mengalami tekanan dan gempuran hebat, sejak  Belanda pertama datang ke tanah air, dilanjutkan dengan penjajah Jepang, walaupun tidak begitu lama tapi pergolakan Jepang tetap saja menelan korban. Jepang pergi  muncul kembali Belanda untuk yang kedua kalinya, terjadi konflik tiga dimensi antara tentara Hisbullah pimpinan Une, TNI dengan gerombolan DI/TII Pimpinan Karto Soewiryo, kejadian tersebut berakibat terjadinya korban, bukan saja dari pihak-pihak konflik,  tetapi berimbas kepada penduduk.

Suasana desa kian porak-poranda setelah gerombolan DI/TII membabi buta menteror perkampungan Gunungjawa, dua rumah penduduk habis dibakar dan banyak penduduk yang tidak berdosa menjadi korban keganasan gerombolan. Akibatnya banyak menelan korban jiwa, harta benda, termasuk kegiatan pendidikan menjadi terlantar.



GUNUNGJAWA CIKAL-BAKAL DESA KARANGKANCANA

A. Perpindahan dan Pergantian Nama Desa Gunungjawa ke Karangkancana

Keadaan desa yang porak-poranda, perkampungan yang sudah tidak lagi aman, kehidupan masyarakat yang semakin terancam, pendidikan anak-anak terlantar, sulit mencari pencaharian, penduduk dihantui rasa takut jika menjelang petang, sungguh sebuah desa yang mencekam dan menakutkan.

Kondisi seperti itu rupanya membuat seorang tokoh merasa terpanggil untuk mencari solusi dan segera keluar dari kemelut yang terus menjerat penduduknya Maka pada tanggal 14 September 1949 Kepala Desa Gunungjawa (Wirya Atmaja) membuat kebijakan cermat dan tepat ia memberikan ultimatum menginstruksikan kepada seluruh penduduk Desa Gunungjawa untuk melakukan evakuasi ke daerah yang dianggap aman, setelah instruksi dikeluarkan banyak diantara mereka yang mengungsi, ada yang mengungsi ke Kaduagung, Getasan, Pabuaran, Cileuya, Ciwaru, ada pula diantara mereka yang mengungsi ke kota Kuningan, bahkan tidak sedikit diantara warga masyarakat Desa Gunungjawa mengungsi ke daerah Luragung dan sekitarnya khususnya di Kampung Situ Luragung. Banyak diantara mereka yang harus rela kehilangan tempat tinggal, harta benda, sanak saudara dan meninggalkan desa tercinta. Tak elak lagi keberadaan Gunungjawa menjadi sebuah desa yang sepi dan mati, tidak tampak lagi penduduk yang berada di sana, tak terkecuali keberadaan pesantrenpun otomatis bubar, karena tidak ada lagi yang menetap disana, inilah akhir kehidupan Pesantren Gunungjawa (tanggal 4 Oktober 1949)

Atas dasar perikemanusiaan dan rasa tanggungjawab yang tinggi, maka Kepala Desa Gunungjawa Wirya Atmaja menghimpun kembali masyarakatnya. Disebarkanlah pengumuman keseluruh masyarakat Gunungjawa yang saat itu menyebar diluar desa untuk kembali ke Gunungjawa, akhirnya pada tanggal 3 Agustus 1951 masyarakat Gunungjawa mulai berkumpul ditempat yang baru, di tanah bengkok perangkat desa dengan status tanah hak pakai.


B.    Pengorbanan yang patut diteladani 

Untuk meresmikan perpindahan warga tersebut, maka pada tanggal 30 Juni 1952 para tokoh masyarakat Desa Gunungjawa diantaranya: Wirya Atmaja, Moh. Suntana (Kyai Bandrun), Nata Sukatma, Abah Jusa, dan Sastradinata, dan Yusuf mengadakan kumpulan (musyawarah) di Kampung Getasan, untuk kemudian melaksanakan rapat lanjutan sebagai tindaklanjut Musyawarah Getasan yang bertempat di Balai Desa sekitar pukul 10.00 untuk menyatakan kehendak warga, dengan isi pernyataan sebagai berikut:
1. Memindahkan kedudukan ibukota desa Gunungjawa beserta 3 buah kampung lainnya (Margacina, Banjaran dan Jabranti/Situ wetan) ke tempat lain yang lebih aman.
2. Tempat baru yang dimaksud pada poin satu yaitu sebidang tanah bengkok yang berlokasi berada di sebelah Barat Desa Gunungjawa.
3. Pemindahan dimaksud dilakukan dengan alasan di Desa Gunungjawa seringkali didatangi gerombolan DI/TII pengacau keamanan yang selalu mengadakan berbagai tekanan kepada warga masyarakat, selain itu sering pula terjadi pertempuran-pertempuran yang dahsyat antara TNI dengan gerombolan DI/TII, sehingga warga masyarakat merasa tidak aman dan banyak yang mengungsi ke tampat lain.
4. Mengganti nama desa Gunungjawa dengan nama desa yang baru, yaitu “Karangkancana”.
5. Mengajukan perubahan status tanah bengkok dari tanah hak pakai menjadi tanah hak milik warga masyarakat.
6. Pemindahan tempat kedudukan desa Gunungjawa ke tempat baru tersebut dalam kenyataannya telah dilakukan sejak tanggal 3 Agustus 1951. (Sumber: Catatan Harian Bpk. Wirya Atmaja)

Pernyataan tersebut sebagai dasar untuk mengajukan permohonan kepada Gubernur Jawa Barat melalui Bupati Daerah Kuningan tentang “Pemindahan tempat kedudukan Desa Gunungjawa Kecamatan Ciwaru, dan permohonan Pergantian nama desa menjadi sebutan baru: KARANGKANCANA”.

Pada tanggal 30 Juli 1952 Kepala Desa Wirya Atmaja mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jawa Barat melalui Bupati Daerah Kuningan dengan melampirkan hasil pernyataan kehendak warga tersebut diatas, karena hanya itulah jalan yang terbaik bagi warganya, dan hanya disanalah tempat yang dipandang aman untuk sebuah pemukiman penduduk.

Secara resmi SK Gubernur Jawa Barat terbit tanggal 28 Juli 1954 dengan SK Nomor: 1217/17-K/Reg.79/GDB/UD/54. Dengan terbitnya SK Gubernur tersebut maka Gunungjawa telah berubah menjadi wajah baru dan nama yang baru pula, yaitu Desa Karangkancana yang berada tepat sebelah barat dari tempat desa yang lama. Sebuah pengorbanan yang patut diteladani, perangkat desa rela melepas bengkoknya demi kepentingan yang lebih besar dan mulia, yaitu tempat tinggal penduduk.



Desa Karangkancana masa sekarang (Capture Google Earth)

Tempat baru bekas sawah bengkok perangkat desa tersebut menjadi sebuah pemukiman baru dengan nama desa “KARANGKANCANA”, (Kampung Halaman yang Bertaburkan Emas)”.


Sumber :
http://mimuhammadiyahsegong.blogspot.com/2011/10/sejarah-berdirinya-desa-karangkancana.html
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest

Rabu, 15 November 2017

Close Cover Printer MFC-6490CW

Cara Mengatasi Close Ink Cover di Printer Brother


Assalamualaikum wr.wb

Halo sobat blogger senang rasanya bisa nulis di blog ini lagi, kali ini admin akan sharing pengalaman admin mengatasi pesan close ink cover pada printer brother MFC-J430W. Ceritanya admin di suruh ngecek printer tersebut apakah masih bagus atau tidak setelah coba di hidupkan, lalu admin masukan tabung tintanya munculah pesan error close ink cover.
Loh kok gini ?? tapi kalau admin lepas tabung tintanya dan menutup cover tintanya printer bisa beroperasi, tapi kan gak ada tintanya ??


Akhirnya coba googling dan alhamdulillah ketemu solusinya
ternyata masalah sepele admin lupa menutup sensor yang ada di dekat tabung tinta yang fungsinya agar tinta dapat terdeteksi bentuknya seperti ini


pasang penutup sensor dengan posisi ujung yang berberigi ada di sebelah luar sedangkan ujung lainnya di masukan ke dalam 


untuk lebih jelasnya silahkan lihat video dibawah ini

Bagaimana mudahkan ? semoga bermanfaat baca juga cara mengatasi catridge cannot be rocognized di printer cannon

Printer MFC-6490CW



Cara Mengatasi Masalah Pada Printer Brother - Brother merupakan sebuah printer yang lagi ngetren saat ini, brother mampu bersaing pada kalangan pemasaran, dan brother merupakan salah satu pemain besar dalam industri printing dan digital imaging, brother meluncurkan berbagai produk terbarunya yang meramaikan jajaran printer Multi-Function Centre (MFC). Semua printer yang menawarkan beragam fungsi, seperti print, scan, fax, dan copy. 

Printer brother yang di akhir terdapat Huruf “W” seperti MFC-J625DW itu berarti printer brother tersebut menunjukkan fungsi wireless. Fungsi wireless ini memungkinkan pengguna printer brother untuk menyambungkan beragam perangkat ke printer secara wireless, baik android, laptop dan iPad dengan aplikasi yang bisa didapatkan di Android Market dan Apple App Store secara gratis. Printer Brother juga ada yang memiliki USB port dan media card slot untuk dapat langsung mencetak gambar yang ada di dalam storage tersebut.

Akan tetapi juga banyak kendala-kendala yang sering terjadi pada printer brother, seperti ink black, close ink cover dan sebagainya, maka dari itulah kali ini ana ingin membahas sedikit masalah yang sering terjadi pada printer brother.

Masalah yang sering terjadi pada printer brother....!!!
  • Close ink Cover, merupakan kendala yang sering terjadi pada printer brother, itu biasanya disebabkan ketika kita melepaskan slot kertas dengan tidak sadar tertarik cover yang yang ada di samping itu. cara mengatasinya, kita cukup memasukkan lagi cover yang tercabut tadi, tpi kita harus memasukkan dengan benar, karna biasanya printer juga masih error walaupun covernya sudah dimasukkan, maka kita cek lagi apakah covernya sudah benar kita masukkan, jika belum benar coba sobat cabut kembali, dan masukkan kembali sampai printer keluar normal 100%, jika tetap tidak bisa maka sobat cabut cover beserta semua cartridgenya, kemudian sobat masukkan satu per satu, masukkan warna apa dulu yang diminta, ikuti sampai selesai, kemudia masukkan lagi covernya.
  • Cannot Detect Black Ink, itu merupakan masalah yang juga pernah kita alami pada printer brother, masalah tersebut biasanya terjadi ketika ada masalah pada cartridge, printer brother tidak bisa mendetect atau membaca cartridge warna hitam. nah solusinya sobat cukup mencabut cover dan cartridge warna hitam, kemuadian akan muncul dilayar printer brother sobat untuk meminta sobat menginstal kembali cartridge nya, nah sobat tidak usah pusing, langsung saja sobat masukkan kembali cartridge warna hitam, kemudian keluar change tekan yes, abiss tuu,,,,, sobat masukkan covernya dengan benar seperti yang telah ana jelaskan tadi diatas.

  • Paper jam, itu masalahnya adalah kertasnya tersangkut di dalam printer, mungkin gara-gara kita tidak benar-benar memperhatikan letak kertasnya waktu kita masukkan. usahakan memasukkan kertasnya dengan benar jangan sampai tersangkut. solusinya sobat tinggal cabut tempat masukkan kertas tadi perlahan-lahan sampai bisa, kemudia sobat buka tutup yang ada dibelakang printer pasti nampak kertasnya, nah sobat tinggal tarik kertasnya pelan-pelan supaya tidak sobek, kemudian sobat tutup kembali tutup yang dibelakang tadi dan sobat masukkan kembali juga slot kertasnya. nah sudah sampai disitu apabila printer sobat masih tidak bisa ngeprint, coba sobat cek kembali printer brother sobat, jika printer brother sobat meminta close ink cover, maka sobat tinggal cabut covernya dan masukkan kembali dengan benar.

Selasa, 14 November 2017

Sempidan: ayam hutan berparas indah (1)

Sempidan adalah kelompok burung berukuran besar dari keluarga Phasianidae. Burung ini hidup di habitat hutan primer yang jarang terjamah manusia. Sering ditemukan menjelajah dan mengorek serasah daun yang jatuh di dasar hutan untuk mencari makan. Makanannya terdiri dari buah-buahan yang jatuh, larva, serangga, cacing dan hewan invertebrata kecil lainnya.
Bentuk tubuh Sempidan seperti campuran antara ayam dan pheasant sehingga sering disebut gallopheasant. Panjang tubuh berkisar antara 40-90 cm atau seukuran ayam Kalkun. Jantan umumnya berbulu panjang dan berparas indah, memiliki ornamen berwarna menyolok di sekitar muka yang akan mengembang saat musim berbiak.
Betina berwarna coklat suram yang berguna untuk menyamar saat mengerami telur di sarang yang terletak di atas tanah. Sempidan mampu berlari cepat untuk menghindari pemangsa. Burung besar ini juga mampu terbang rendah dalam jarak yang dekat.
Sempidan tersebar luas di Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan jumlah total sebanyak 11 spesies. Enam jenis diantaranya ada di Indonesia. Semuanya berada dalam satu marga yang disebut Lophura. Uniknya, jenis-jenis Sempidan Indonesia ini hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan (termasuk Brunei, Sabah dan Serawak).
Demi kenyamanan pembaca, maka postingan ini kami bagi menjadi dua. Bagian pertama mencakup jenis-jenis Sempidan yang ada di Indonesia dan bagian kedua memuat jenis-jenis Sempidan dari negara lainnya.  Selamat membaca.
Sempidan Sumatera (Lophura inornata)
Sempidan Sumatera Lophura inornata (Salvadori’s Pheasant) merupakan satu-satunya burung Sempidan endemik di Pulau Sumatera. Berbeda dengan jenis lainnya, Sempidan Sumatera lebih menyukai hutan primer dengan elevasi yang lebih tinggi.
Habitat utama berupa hutan perbukitan dan pegunungan yang rapat mulai dari ketinggian 650 m hingga 2200 m dpl. Burung ini sering dijumpai pada ketinggian 800 m dpl di sepanjang bukit barisan yang membentang dari Aceh hingga Lampung.
Sepintas, warna Sempidan Sumatera sangat mirip Sempidan Edward dari Vietnam. Perbedaannya terletak pada jambul putih, ekor panjang dan kaki merah yang tidak ditemukan pada Sempidan Sumatera. Burung ini berwarna hitam dengan kulit muka merah tanpa ornamen yang menyolok sama sekali. Ciri khasnya hanya berupa bintik kuning kecil di belakang mata. Berukuran Sedang. Jantan 55 cm dan betina sekitar 46 cm.
Lophura inornata-dody94.wordpress.com
Gambar 1. Sempidan Sumatera. Sumber: arkive.org.
Burung lain yang sangat mirip dengan Sempidan Sumatera adalah Sempidan Aceh Lophura hoogerwerfi  yang hidup di bagian utara Sumatera terutama di sekitar TN Gunung Leuser. Pejantan dari kedua jenis Sempidan ini sangat sulit dibedakan. Namun, Sempidan betina memiliki perbedaan. Betina Sempidan Sumatera memiliki bulu berwarna coklat gelap dengan totol-totol coklat kekuningan. Sedangkan betina Sempidan Aceh berwarna coklat gelap tanpa totol.
Oleh Birdlife, Sempidan Aceh dianggap sebagai subspesies dari Sempidan Sumatera. Populasi total dari keduanya diperkirakan berkisar antara 7.500 hingga 30.000 individu. Aktifitas perburuan dan penebangan hutan menyebabkan populasi Sempidan Sumatera mengalami penurunan. IUCN menetapkan status burung ini dalam kategori hampir terancam (Near Threatened= NT).
Sempidan Kalimantan (Lophura bulweri)
Sempidan Kalimantan atau Bulwer’s Pheasant termasuk spesies burung endemik yang hanya ditemukan di Pulau Kalimantan. Di masa lalu, burung ini tersebar luas dan sangat umum dijumpai di pedalaman hutan primer Kalimantan yang tak terganggu. Namun populasinya kini terus menurun dan terpencar-pencar akibat penebangan hutan yang tak terkendali.
Burung ini memiliki perbedaan ciri kelamin (dimorfisme seksual) yang sangat kontras. Jantan memiliki panjang 80 cm dengan tubuh berbulu hitam. Ekor panjang melengkung berwarna putih menyolok. Sedangkan betina berukuran 55 cm berwarna coklat gelap. Jantan dan betina memiliki kulit muka berwarna biru. Kaki berwarna merah.
Lophura bulweri-dody94.wordpress.com
Gambar 2. Sempidan Kalimantan. Sumber:
Sempidan Kalimantan menyukai hutan pegunungan bawah dan hutan perbukitan dengan ketinggian di atas 300 m.  Saat ini hanya dapat ditemukan jauh di hutan pedalaman pada kawasan perbukitan dan pegunungan yang dilindungi seperti di Pegunungan Meratus, Taman Nasional Kayan Mentarang, hutan di Sabah, Sarawak dan Brunei. Sempidan Kalimantan merupakan Sempidan terbesar dan paling langka di Indonesia.
Hanya sedikit kebun binatang yang mengoleksi burung ini, mengingat sulitnya proses perkembangbiakan di luar habitat aslinya. Oleh IUCN burung ini dikategorikan rentan terhadap kepunahan (Vulnerable).                                                               
Sempidan Merah Sumatera (Lophura erythropthalma)
Sempidan merah atau Malay Crestless Fireback adalah sempidan terindah di Indonesia. Tubuh berukuran sedang. Jantan memiliki panjang 47-51 cm dan betina 42-44 cm. Tubuh umumnya berwarna hitam glossy bercampur ungu kebiruan. Pejantan berekor pendek seperti ekor ayam betina. Warna bulu ekor kuning kecoklatan seperti warna karamel. Pangkal ekor berwarna hitam. Kepala tanpa hiasan jambul.
Bulu di punggung, sayap dan dada dilengkapi motif batik yang halus dengan pola seperti labirin yang rumit (finely vermiculated). Kulit muka merah terang. Tunggir berwarna ungu kemerahan. Sedangkan kaki berwarna hitam. Tubuh betina berwarna hitam.
Lophura erythropthalma-dody94.wordpress.com
Gambar 3. Sempidan Merah. Sumber: arkive.org.
Habitat alaminya berupa hutan primer dataran rendah yang tak terganggu di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Di Sumatra, populasi Sempidan Merah  terkonsentrasi di Propinsi Riau dan Jambi. Burung ini cenderung menghindari hutan primer berelevasi tinggi serta hutan primer yang menjadi habitat Sempidan biru Sumatra yang ukurannya lebih besar. Sempidan merah juga banyak ditemukan di hutan rawa gambut dan karst.
Populasi Sempidan Merah dipastikan terus menurun akibat konversi hutan dataran rendah di Sumatera. Kini populasinya terpencar-pencar dengan jumlah total berkisar 15 ribu hingga 30 ribu individu.  Oleh IUCN, burung ini dikategorikan rentan (Vulnerable) terhadap kepunahan.
Sempidan Merah Kalimantan (Lophura pyronota)
Sempidan Merah Kalimantan atau Bornean Crestless Fireback adalah burung endemik yang tersebar luas di seluruh dataran rendah Kalimantan termasuk Sabah dan Sarawak. Burung ini dulunya diperlakukan sebagai subspesies dari Sempidan Merah yang ada di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Namun kini dianggap sebagai spesies yang terpisah.
Secara umum, ciri fisik dan ukuran burung ini mirip dengan Sempidan Merah. Perbedaan menyolok terletak pada warna bulu yang bercoret putih terutama di bagian leher dan dada. Warna hitam pada bagian pangkal ekor juga lebih luas.
Lophura pyronota-dody94.wordpress.com
Gambar 4. Sempidan Merah Kalimantan. Sumber: Jeff Berger (2003).
Warna bulu di sekujur tubuh merupakan campuran antara warna hitam dan putih keperakan sehingga terlihat lebih terang dibandingkan dengan Sempidan merah. Kepala tanpa hiasan jambul. Betina berwarna kehitaman mirip betina Sempidan Merah.
Penebangan dan alihfungsi hutan menyebabkan populasi Sempidan Merah Kalimantan kian menyusut dan terpencar-pencar. Oleh IUCN, burung ini dinyatakan rentan (Vulnerable) terhadap kepunahan.
Sempidan Biru Kalimantan (Lophura ignita)
Sempidan biru atau Bornean Crested Fireback  termasuk salah satu ayam hutan berukuran besar. Jantan mencapai 70 cm dan betina 65 cm. Kulit muka berwarna biru pucat dengan jambul kepala hitam.
Tubuh berwarna hitam kebiruan dengan dada kecoklatan. Ekor atas berwarna coklat kayu manis dan ekor bawah hitam. Kaki berwarna kuning dengan taji yang besar dan runcing.  Betina berwarna coklat dengan warna bulu di bagian dada dan perut bercoret putih.
Lophura ignita-dody94.wordpress.comGambar 5. Sempidan Biru Kalimantan sub-spesies nobilis. Sumber: arkive.org
Sempidan biru dibagi menjadi 3 sub-species, yaitu: Lophura ignita ignita (Lesser Bornean Crested Fireback) yang tersebar di Kalimantan dan Pulau Bangka, Lophura ignita nobilis (Greater Bornean Crested Fireback) tersebar di Kalimantan  dan Lophura ignita macartneyi (Delacour’s Crested Fireback) yang tersebar di Sumatera bagian tenggara.
Satu sub-spesies lainnya, Lophura ignita rufa (Malay Crested Fireback) kini ditetapkan sebagai spesies tersendiri dengan nama Lophura rufa.
Lophura ignita ssp-dody94.wordpress.com
Gambar 6. Sempidan Biru Kalimantan. Subspesies ignita (kiri atas). Subspesies nobilis (kanan atas). Subspesies macartneyi (kiri bawah) dan spesies rufa (kanan bawah). Perhatikan perbedaan pada bulu dada, bulu punggung dan bulu ekor. Sumber: arkive.org.
Subspesies ignita mirip dengan nobilis hanya saja ukurannya lebih kecil. Warna bulu juga sedikit lebih cemerlang dibandingkan dengan nobilis. Keduanya memiliki warna bulu coklat di dada dan warna coklat karamel pada bagian ekor.
Spesies Lophura rufa memiliki perbedaan yang sangat jelas dimana bagian dada bercoret putih dengan ekor atas berwarna putih. Sedangkan subspesies macartneyi memiliki ciri yang sama dengan subspesies ignita. Hanya saja ekornya berwarna putih seperti Lophura rufa. Kuat dugaan subspecies macartneyi merupakan hasil persilangan alami (hybrid) antara subspesies ignita dan Lophura rufa.
Lophura ssp betina-dody94.wordpress.com
Gambar 7. Sempidan Biru Kalimantan betina. Subspesies ignita (kiri atas). Subspesies nobilis (kanan atas). Subspesies macartneyi (kiri bawah) dan spesies rufa (kanan bawah). Perhatikan perbedaan pada bulu dada, bulu punggung dan bulu ekor. Sumber: arkive.org.
Betina dari semua subspesies memiliki ciri serupa berupa kulit muka biru. Bulu atas tubuh dan jambul berwarna coklat dan bulu dada bercoret putih.
Sempidan biru hidup di hutan primer dataran rendah. Kadang-kadang juga ditemukan di hutan sekunder yang telah ditebang. Populasinya terus menurun akibat hilangnya habitat. IUCN menetapkan status konservasi Sempidan Biru dengan kategori hampir terancam (Near Threathened).
Sempidan Biru Sumatra (Lophura rufa)
Sempidan Biru Sumatera Lophura rufa (Malay Crested Fireback) berukuran besar. Panjang jantan mencapai 70 cm dan betina 65 cm. Tersebar luas di Semenanjung Thailand, Semenanjung Malaya hingga pulau Sumatra. Populasi di Myanmar diduga telah punah.
Burung ini dulunya termasuk salah satu subspesies Sempidan Biru Lophura ignita yang tersebar luas di Kalimantan hingga pulau Bangka. Namun, kini ditetapkan sebagai spesies terpisah.
Dibandingkan dengan subspesies Lophura ignita lainnya, Sempidan biru Sumatera memang memiliki perbedaan yang paling kontras. Warna bulu dadanya bercoret putih. Bulu ekor atasnya juga berwarna putih. Daerah sebarannya juga terpisah jauh. Berdasarkan hal ini para ahli menjadikannya sebagai spesies tersendiri.
Lophura rufa-dody94.wordpress.com
Gambar 8. Sempidan Biru Sumatera. Sumber: arkive.org
Habitat utama Sempidan Biru Sumatera adalah hutan primer dataran rendah yang tak terganggu. Burung ini jarang ditemukan pada ketinggian 1000 m dpl, namun habitatnya dipastikan mencapai elevasi yang lebih tinggi dibandingkan Sempidan Merah. Oleh IUCN, populasi burung ini belum di analisis secara pasti, namun dikategorikan hampir terancam (Near Threatened) akibat menyusutnya hutan primer dan perburuan menggunakan jerat.
Referensi:
  1. Birdlife.org.  http://www.birdlife.org/datazone/species/factsheet
  2. del Hoyo, J.; Collar, N. J.; Christie, D. A.; Elliott, A.; Fishpool, L. D. C. 2014. HBW and BirdLife International Illustrated Checklist of the Birds of the World. Barcelona, Spain and Cambridge UK: Lynx Edicions and BirdLife International.

Sempidan: ayam hutan berparas indah (2)

Sempidan adalah kelompok burung berukuran besar dari keluarga Phasianidae. Burung ini hidup di habitat hutan primer yang jarang terjamah manusia. Sering ditemukan menjelajah dan mengorek serasah daun yang jatuh di dasar hutan untuk mencari makan. Makanannya terdiri dari buah-buahan yang jatuh, larva, serangga, cacing dan hewan invertebrata kecil lainnya.
Bentuk tubuh Sempidan seperti campuran antara ayam dan pheasant sehingga sering disebut gallopheasant. Panjang tubuh berkisar antara 40-90 cm atau seukuran ayam Kalkun. Jantan umumnya berbulu panjang dan berparas indah, memiliki ornamen berwarna menyolok di sekitar muka yang akan mengembang saat musim berbiak.
Betina berwarna coklat suram yang berguna untuk menyamar saat mengerami telur di sarang yang terletak di atas tanah. Sempidan mampu berlari cepat untuk menghindari pemangsa. Burung besar ini juga mampu terbang rendah dalam jarak yang dekat.
Sempidan tersebar luas di Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan jumlah total sebanyak 11 spesies. Enam jenis diantaranya ada di Indonesia. Semuanya berada dalam satu marga yang disebut Lophura. Uniknya, jenis-jenis Sempidan Indonesia ini hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan (termasuk Brunei, Sabah dan Serawak).
Demi kenyamanan pembaca, maka postingan ini kami bagi menjadi dua. Bagian pertama mencakup jenis-jenis Sempidan yang ada di Indonesia dan bagian kedua memuat jenis-jenis Sempidan dari negara lainnya.  Selamat membaca.
Sempidan Siam (Lophura diardi)
Sempidan Siam atau Siamese Pheasant tersebar luas di beberapa negara seperti  Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam dan Kamboja. Pejantan berukuran hingga 80 cm, didominasi warna abu-abu terang dengan kulit muka merah terang.
Ekor abu-abu panjang melengkung. Kaki berwarna merah. Beberapa helai jambul hitam bertangkai terlihat anggun menghias kepala. Betina berwarna coklat dengan ukuran hingga 60 cm. Sayap dan ekor hitam dengan kombinasi garis putih tipis.
Habitat yang disukai Sempidan Siam berupa hutan terbuka, semak, perdu dan hutan bambu di dataran rendah hingga ketinggian 500 m-800 m. Burung ini juga kerap ditemukan di tepi jalan setapak di sepanjang hutan. Menjelajah dalam kelompok kecil dengan satu pejantan dan beberapa betina.
Lophura diardi-dody94.wordpress.com
Gambar 1. Sempidan Siam. Sumber:birdsthatfart.com, flickr.com, ibc.lynxeds.com.
Populasi Sempidan Siam mulai menurun akibat konversi habitat dan perburuan. Burung ini umumnya ditangkap menggunakan jerat untuk dimakan atau dijual sebagai satwa peliharaan. Oleh IUCN, burung ini dikategorikan masih beresiko rendah untuk punah (Least Concern) karena daerah sebaran yang luas dan populasinya yang masih cukup banyak. Burung ini juga menjadi salah satu burung nasional Thailand.
Sempidan Vietnam/Edward (Lophura edwardsi).
Sempidan Edward arau Edward’s Pheasant berukuran sedang. Jantan memiliki panjang 65 cm dan betina 58 cm. Sebagian besar tubuh didominasi warna hitam dengan ornamen garis bergelombang berwarna biru muda yang indah di sekitar sayap dan punggung. Kulit muka berwarna merah terang dengan jambul pendek berwarna putih. Kaki berwarna merah. Betina memiliki ciri serupa, dengan tubuh didominasi warna coklat gelap.
Sempidan Vietnam Lophura hatinhensis memiliki ciri yang sangat mirip dengan Sempidan Edward. Perbedaannya hanya terletak pada beberapa helai bulu ekor berwarna putih yang terletak di bagian atas. Baru-baru ini, Sempidan Vietnam diputuskan sebagai sub-spesies dari Sempidan Edward sehingga kedua jenis tersebut disatukan ke dalam satu spesies dengan nama Lophura edwardsi. Populasi dan daerah sebaran  Lophura hatinhensis ini sangat kecil dan terbatas.
Lophura edwardsi-dody94.wordpress.com
Gambar 2. Sempidan Edward/Lophura edwardsi (kiri kanan atas). Sempidan Vietnam/Lophura hatinhensis (kiri dan kanan bawah). Sumber arkive.org.
Jenis burung besar lain yang ditemukan di Vietnam adalah Sempidan Kaisar atau Imperial Pheasant Lophura x imperialis. Burung ini lebih besar dibandingkan Sempidan Edward dengan ukuran hingga 75 cm. Seluruh tubuh berwarna hitam dengan campuran warna coklat dan biru glossy yang indah dibagian dada dan punggung.
Di awal penemuannya, burung ini banyak menimbulkan tanda tanya dikalangan para ahli. Namun, hasil riset terakhir menunjukkan bahwa Sempidan Kaisar merupakan burung hybrid hasil persilangan alami antara Sempidan Edward dengan Sempidan Perak Lophura nycthemera var. annamensis yang juga banyak ditemukan di Vietnam. Populasi alami burung hybrid ini tergolong sangat langka.
KONICA MINOLTA DIGITAL CAMERAGambar 3. Sempidan Kaisar Lophura x imperialis hasil persilangan alami antara Sempidan Edward dan Sempidan Perak. Sumber: tragopan.pl.
Sempidan Edward termasuk burung endemik Vietnam yang sangat langka. Burung ini hanya dapat ditemukan di Vietnam tengah dengan populasi antara 50-300 individu. Habitatnya berupa hutan yang didominasi oleh semak dan liana yang sangat lebat di perbukitan.
Populasi Sempidan Edward terus menurun akibat perburuan dan alih fungsi hutan. Burung ini adalah Sempidan paling langka di dunia. Oleh IUCN, burung ini dikategorikan kritis (critically endangered) atau sangat terancam punah waktu dekat.
Sempidan Kalij (Lophura leucomelanos)
Sempidan Kalij Lophura leucomelanos memiliki daerah sebaran yang luas. Burung ini mulai tersebar dari India, Bhutan, Nepal, Myanmar hingga Thailand. Tubuh berukuran besar. Jantan 63-74 cm dan betina 60-70 cm. Habitat berupa hutan dan semak perdu yang lebat di sekitar kaki pegunungan Himalaya.
Burung jantan berwarna glossy biru kehitaman dan keabu-abuan, Bagian dada dan perut kadang bercoret putih. Kombinasi warna bulu tubuh sangat bervariasi sesuai dengan subspesiesnya. Burung betina didominasi warna coklat. Kulit muka berwarna merah dengan kaki abu-abu.
Lophura leucomelanos-dody94.wordpress.com
Gambar 4. Beberapa varian Sempidan Kalij. Sumber: flickr.com, beautyofbirds.com, ibc.lynxeds.com.
Sempidan Kalij dibagi menjadi sembilan subspesies yaitu: hamiltoni (Himalaya Barat), leucomelanos (Nepal), melanota (India dan Bhutan Barat), moffitti (Myanmar Tengah), lanthami (India utara dan Myanmar), williamsi (Myanmar Barat), oatesi (Myanmar Selatan), crawfurdi (Myanmar Selatan hingga Semenanjung Thailand), lineata (Thailand Barat).
Berdasarkan luasnya habitat dan populasi yang cukup umum menyebabkan IUCN mengkategorikan Sempidan Kalij beresiko rendah (Least Concern) untuk punah dalam waktu dekat. Populasi burung ini cenderung menurun akibat rusaknya habitat dan perburuan.
Sempidan Perak (Lophura nycthemera)
Sempidan Perak Lophura nycthemera (Silver Pheasant) adalah burung sempidan terbesar. Jantan berukuran 90-125 cm dan betina 55-90 cm. Daerah sebaran burung ini juga paling luas dibandingkan dengan jenis sempidan lainnya. Burung ini tersebar di mulai dari Myanmar, China Selatan dan Timur, Thailand hingga Vietnam. Tubuh didominasi warna hitam dan putih dengan permukaan bulu berhiaskan pola-pola yang rumit. Kulit muka merah dengan jambul hitam dan kaki merah. Betina berwarna coklat.
Sempidan Perak berkerabat dekat dengan Sempidan Kalij dan keduanya diketahui memiliki kemampuan untuk kawin silang. Taksonomi untuk kategori subspecies dari Sempidan Perak masih cukup membingungkan karena banyaknya variasi warna dari masing-masing daerah yang menjadi habitatnya. Burung di daerah utara (China) umumnya berukuran lebih besar.
Lophura nycthemera-dody94.wordpress.com
Gambar 5. Sempidan Perak. Sumber: uniprot.org.
Saat ini, Sempidan Perak dibagi menjadi 15 subspesies, yaitu: occidentalis (China tengah dan Myanmar Barat daya), rufipes (Myanmar Utara), ripponi (Myanmar Utara), jonesi (Myanmar Utara, China barat daya hingga Thailand tengah), omeiensis (Sichuan selatan), rongjiangensis (Guizhou), beuileui (Laos dan Vietnam Utara), nycthemera (China Selatan dan Vietnam Utara), whiteheadi (Hainan), fokiensis (Fokien), berliozi (Vietnam Tengah), beli (Vietnam Tengah), engelbachi (Laos Selatan), lewisi (Kamboja dan Thailand Selatan), annamensis (pegunungan Vietnam Selatan).
Sempidan Perak memiliki populasi yang cukup melimpah dan banyak ditemukan di kebun binatang. Burung ini juga popular sebagai hewan peliharaan di taman-taman terutama di Hawaii dan daratan Amerika Serikat. Burung ini juga masih mudah ditemukan di habitat alaminya. Berdasarkan hal tersebut, IUCN mengkategorikan burung ini sebagai satwa yang beresiko rendah untuk punah (Least Concern). Populasi cenderung menurun akibat rusaknya habitat dan perburuan.
Sempidan Formosa (Lophura swinhoii)
Sempidan Formosa adalah burung endemik Taiwan. Sebagian besar populasinya ditemukan di daerah pegunungan tengah yang menjadi bagian dari Taman Nasional yang dilindungi, Elevasi di daerah ini dapat mencapai 2300 meter dpl. Sempidan Formosa adalah salah satu sempidan yang paling indah dan atraktif.
Jantan berukuran sekitar 80-90 cm dengan tubuh didominasi warna hitam kebiruan, terutama dibagian dada dan tunggir. Sayap berwarna coklat, sebagian hitam bergaris hijau kebiruan. Punggung berwarna putih. Kulit muka berwarna merah dengan jambul putih. Ekor panjang dengan dua warna. Bagian atas berwarna putih dan bagian bawah berwarna hitam. Kaki berwarna merah dengan taji meruncing yang tajam. Betina kecoklatan berukuran 50-60 cm, bertotol kuning dengan warna dada merah karat.
Lophura swinhoii-dody94.wordpress.com
Gambar 6. Sempidan Formosa. Sumber: flickr.com
Makanan Sempidan Formosa berupa biji-bijian, buah-buahan, serangga dan hewan kecil lainnya. Burung betina diketahui bertelur sebanyak 2-6 butir. Telur ini dierami selama 25-28 hari. Anak burung akan meninggalkan sarang dan mengikuti induknya setelah 2-3 hari. Populasi Sempidan Formosa diperkirakan sebesar 10.000 individu. Daerah sebaran yang terbatas menyebabkan IUCN menetapkan kategori hampir terancam (Near Threatened) untuk Sempidan terindah ini.
Referensi:
  1. Birdlife.org.  http://www.birdlife.org/datazone/species/factsheet
  2. del Hoyo, J.; Collar, N. J.; Christie, D. A.; Elliott, A.; Fishpool, L. D. C. 2014. HBW and BirdLife International Illustrated Checklist of the Birds of the World. Barcelona, Spain and Cambridge UK: Lynx Edicions and BirdLife International.